Rabu, 16 Oktober 2013

Dakwah : Fadhilah Puasa




السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
أَعُوْذُ باِاللهِ مِنَ الشَّيْطَا نِ الرَجِيْم
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِالرَّحِيْم
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّياَُم كَمَا كُتِبَ عَلىَ الََّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكمْ تَتَّكوْن.
وَالصَّلاَةُوَالسَّلاَمُ عَلىَ اَشْرَفِ اْلاَ نْبِيَاءِوَاْلمُرْسَلِيْنَ
سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْن. اَمَّابَعْدُ.
Hadirin dan hadirat siding jama’ah….. yang dirahmati Allah SWT.
            Marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur atas ke hadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahamt, taufiq, serta hidayah-Nyalah sehingga kita masih dizinkan dan diberikan kesempatan untuk hadir di tempat yang penuh berkah ini tiada lain untuk mendapatkan ridhonya dan mencapai keselamatan dunia akhirat.
            Begitu pula sholawat dan salam mari kita kirimkan kepada nabi kita yang tercinta nabi Muhammad SAW. Nabi yang telah diutus dan ditunjuk oleh Allah sebagai uswatun hasanah di muka bumi ini.
Hadirin dan hadirat yang berbahagia….
            Dalam kesempatan ini, perkenangkanlah saya mengangkat sebuah pokok pembicaraan dengan judul “FADILAH PUASA”
Arti puasa menurut bahasa adalah menahan. Menurut syariat islam puasa adalah suatu bentuk aktifitas ibadah kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan, minum, hawa nafsu, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit matahari / fajar / subuh hingga matahari terbenam / maghrib dengan berniat terlebih dahulu sebelumnya.
Puasa memiliki fungsi dan manfaat untuk membuat kita menjadi tahan terhadap hawa nafsu, sabar, disiplin, jujur, peduli dengan fakir miskin, selalu bersyukur kepada Allah SWT dan juga untuk membuat tubuh menjadi lebih sehat.
Di dalam kesempatan ini, puasa yang saya bahas yaitu puasa ramadhon, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, Puasa Ramadhan hukumnya adalah wajib bagi orang yang sehat. Sedangkan bagi yang sakit atau mendapat halangan dapat membayar puasa ramadhan di lain hari selain bulan ramadan. Puasa ramadhan dilakukan selama satu bulan penuh di bulan romadhon kalender hijriah / islam. Puasa ramadhan diakhiri dengan datangnya bulan syawal di mana dirayakan dengan lebaran ied / idul fitri.
Di paparkan dalam Al-Qur’an :
مَنْ شَهِِدَ منْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya :
Barang siapa diantara kamu yang menyaksikan datangnya bulan Ramadhon, maka diwajibkan bagimu berpuasa.
Dan kita juga ketahui bersama bahwa sesungguhnya puasa itu merupakan rukun islam, puasa merupakan bagian dari penyempurnaan agama kita. Di dalam ayat lain dijelaskan :
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّياَُم كَمَا كُتِبَ عَلىَ الََّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكمْ تَتَّكوْن.
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajbkan bagimu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkannya orang-orang yang terdahulu, agar kamu bertaqwa.
            Di atas ayat Al-qur’an yang dibacakan tadi, menyeru kepada kita sekalian sebagai orang-orang untuk berpuasa. Dan sesungguhnya puasa itu sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan tujuan agar kita senantiasa bertaqwa yaitu meningkatkan kedekatan kita kepada Allah dengan senantiasa melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya.
            Telah dijelaskan oleh beberapa pakar, ulama, dan da’I / muballig bahwa puasa itu memiliki banyak makna dan hikmah yaitu :
لَعَلَّكُمْ تَتَّكُوْن :
Ditingkatkan taqwanya kepada Allah SWT.
عَمَلُهُ مُضَاعَقٌ :
Diberikan pahala yang berlipat ganda.
ذَنْبٌ مَغْفُوْرٌ :
Dosa-dosanya diampuni.
ألدُّعَاءُ مُسْتَجَابٌ :
Do’a diterima
وَهُدًا وَهِدَا يَةًً :
Diturunkan petunjuk dan hidayah.
Kaum muslimin dan muslimat yang senantiasa dirahmati oleh Allah SWT,…..
            Sebagai kesimpulan dari ceramah saya ini, bahwa puasa itu hukumnya wajib dilaksanakan oleh ummat islam, olehnya itu marilah kita senantiasa menjaga puasa kita demi untuk mendapatkan taqwa, mendapatkan pahala yang berlipat ganda, diampuni dosa-dosa kita, dan do’a dikabulkan.
            Saya kira cukup sekian dari ceramah saya ini, mudah-mudahana apa yang saya sampaiakan bernilai ibdah-di sisi Allah SWT dan dapat kita jadikan sebagai bekal untuk mengawal hari esok, menjadi orang yang dirahmati di dunia dan dirahmati di akhirat. Insya Allah….

وَبِا اللهِ تَوْفِقْ وًالْهِدَايَة
أَالسَلاَمُ عَلَييْكُمً وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

*** ***** ***

Hakikat Dakwah (Sebuah Pengantar)


Diposkan oleh :

FASRUL SYAHRIR, S.Th.I.
 

 Assalamu Alaikum Wr. Wb.


Sejarah dakwah dimulai sejak zaman dahulu yaitu sebelum zaman Nabi Muhammad SAW atau zaman nabi-nabi sebelumnya hingga zaman Nabi Muhammad SAW dan seterusnya sampai sekarang.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sejarah dakwah perlu diketahui terlebih dahulu tentang arti dari sejarah dakwah. Sejarah menurut kamus teologi adalah penulisan dan studi mengenai peristiwa penting dalam hidup manusia dalam tingkat lokal, nasional, internasional, maupun global. Sedangkan dakwah menurut pengertian bahasa (lugat) berarti teriakan (As-Shaihatu) dan seruan (An-Nida), menurut istilah ilmu dakwah mengarahkan pikiran dan akal manusia kepada sesuatu pemikiran/akidah dan mendorong mereka untuk menganutnya atau menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan berbagai metode dan media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah. Berdakwah artinya mempropogandakan suatu keyakinan, menyerukan suatu pandangan hidup, iman dan agama.
Pernahkah terpikir pada diri kita mengapa Islam belum menjadi agama yang menyeluruh dilakukan oleh umat manusia? Padahal Islam membawa ketenangan dan kedamaian dalam diri? Diantara sekian banyak alasan tentunya salah satu alasan paling menonjol adalah ketidakberhasilan seorang Dai menyampaikan amanat Allah secara benar. Dan jika ditelaah lebih lanjut salah satu penyebab kegagalan seorang DAI adalah kurangnya pengetahuan di berbagai macam disiplin ilmu dan kurangnya pengetahuan mengenai isi yang disampaikan.
Sejarah mengenai perang penting dalam keberhasilan seseorang DAI untuk menyampaikan amanat Allah. Oleh karena itu, seorang DAI harus mengerti sejarah, karena sejarah berperan dalam memperluas alam pikiran dan guna dapat membuat perbandingan antara agama dan kejadian-kejadian dahulu dengan sekarang.
Dalam bagian selanjutnya, yang akan dibahas adalah sejarah dakwah mulai dari asal mula dakwah sampai kepada dakwah pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Dakwah Sebelum Masa Nabi Muhammad SAW
Dakwah sudah dimulai pada zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah mengirimkan Rasul kepada umat manusia dan menyampaikan agama Islam sebagai agama yang benar yang memperbaiki akhlak serta akidah umat-umat terdahulu pada zamannya.
Diantara sekian banyak Nabi dan Rasul yang diutus Allah untuk berdakwah ada 7 nama Nabi yang disebutkan dalam al-Qur'an sebagai Nabi yang diutus Allah untuk menyampaikan amanah-Nya kepada kaumnya diantaranya: Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Soleh, Nabi Luth, Nabi Syuai, Nabi Musa dan Nabi Isa.
Para nabi membawa sejarah dakwah mereka sendiri-sendiri sebgai pelajaran bagi umat saat ini.
Pada hakikatnya agama yang dibawa oleh para rasul sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah disebut agama Islam, baik agama yang dibawa Nabi Ibrahim AS, Musa AS, Daud AS, maupn Isa AS. Dan Nabi Ibrahim yang dipandangans ebgai bapak agama itu mengaku, bahwa ia adalah seorang muslim (musliman), penganut Islam. Demikianlah bahwa agama yang diakui Tuhan di atas muka bumi ini sejak dari zaman purba kala sampai akhir zaman nanti adalah hanya satu, karena Tuhan Allah sendiri adalah satu, Maha Esa pula.
Agama-agama kuno itu yang dibawa oleh Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diberikan oleh Tuhan ajaran-ajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan mereka masing-masing kepada umat mana rasul-rasul itu diutus oleh Tuhan. Jadi sifat agama-agama itu adalah lokal dan nasional serta terbatas kepada zaman-zaman tertentu yang sesuai dengan lingkungan dan peradaban mereka pula dan kemudian setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan di sana-sini dari ajaran-ajaran Rasul itu semula, maka Tuhan mengutus Rasul demi Rasul yang baru untuk membetulkan kembali kesalahan-kesalahan itu. Demikianlah keadaan itu berlaku sampai zaman Nabi Musa, Isa dan Nabi Muhammad SAW. Dan pada syari'at Nabi Muhammad lah agama itu disempurnakan sedemikian rupa sehingga agama itu mampu bertahan sampai akhir zaman tanpa mengalami perubahan lagi. Jadi sifat agama Islam yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kemajuan berfikir dan kebudayaan umat manusia, yang bersifat universal dan internasional, umum untuk semua guna buat segala bangsa dan untuk dianut sepanjang zaman. Jadi bukan hanya terbatas untuk kaum dan zaman tertentu seperti agama-agama sebelumnya.
Hal ini terbukti dengan terdapatnya perbedaan lafal bunyi firman Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW dan dihadapkan kepada nabi-nabi sebelumnya yang menjelaskan misi mereka dan caranya mereka menghadapkan dakwahnya. Perhatikanlah bunyi ayat-ayat Al-Qur'an seperti di bawah ini:
1.      Tentang Nabi Nuh AS:
"Telah kami utus Nuh AS kepada kaumnya" (Al-A'raf: 59)
2.      Tentang Nabi Hud AS:
"Kepada kaum 'Aad telah kami utus Hud AS saudara mereka" (Al-A'raf: 65)
3.      Tentang Nabi Soleh AS
"Kepada aum Saud telah kami utus Soleh AS saudara mereka". Ia berkata: Hai kaumku! Sembahlah Allah tak ada Tuhan bagi kamu yang lain dari Dia" (Al-A'raf: 73)
4.      Tentang Nabi Luth AS:
"Ketika berkata Luth AS kepada kaumnya" (Al-A'raf: 80)
5.      Tentang Nabi Syu'aib AS:
"Kepada kaum Madyan, saudara mereka Syu'aib AS" (Al-A'raf: 85)
6.      Tentang Nabi Musa AS:
"Ketika Musa AS berkata kepada kaumnya: "Kenapa kamu menyiksa saya?" (As-Shaf: 5)
7.      Tentang Nabi Isa AS:
"Dan ketika berkata Isa AS anak Maryam: "Hai bani Israil, aku adalah utusan Allah kepada kamu semua" (As-Shaf: 6)
Dimanapun juga semua Nabi selalu mendapat perlawanan dari kaumnya yang tidak mau percaya kepada Nabi dan Rasul mereka. Dan kaum yang tidak mau beriman itu selalu dihukum oleh Allah dengan azab yang sangat berat, seperti kaum Nabi Nuh yang tidak mau percaya dihukum Allah dengan banjir besar (Q.S. Al-A'raf: 64). Kaum 'Ad yang kafir kepada Nabi Hud dihukum oleh Alah dengan angin yang sangat mengerikan selama 7 malam 8 hari (Q.S. Adz-Dzariyat; 41-42, Q.S. Al-A'raf: 72). Kaum Nabi Luth yang melakukan Homoseksual dihukum Allah dengan hujan batu (Q.S. Al-A'raf: 78). Kemudian kepada kaum Tsamud yang melawan Nabi Shalih dihukum oleh Allah, dengan gempa bumi (Q.S. Al-A'raf: 84). Serta kaum Nabi Syu'aib yang kufur kepadanya dihukum pula oleh Allah dengan azab yang berupa gempa bumi yang sangat dahsyat (Q.S. Al-A'raf: 91).
1) Kaum Bani Israil
Kesesatan dan kekufuran ini bukan hanya melanda bangsa Arab saja, tetapi kaum Bani Israil dan kaum Yahudi-pun juga melakukan penyelewengan dari ajaran nabi-nabi mereka. Kaum Yahudi itu telah berbuat keterlaluan, seperti mengubah ayat-ayat kitab suci Taurat (Q.S. Al-Baqarah: 75; Q.S. At-Taubat: 30). Mereka ini juga mendewa-dewakan para imam dan pendetanya, sehingga Al-Qur'an menilai kaum Yahudi itu sudah mengambil imam dan pendetanya sebagai Tuhan selain Allah dan Isa Al-Masih (Q.S. At-Taubat: 31). Mereka sudah berani membelokkan ayat-ayat kitab suci dengan berdusta atas nama Allah (Q.S. Ali Imran: 78), dan juga mreka suka memakan harta haram (Q.S. At-Taubat: 34).
2) Kaum Nasrani
Menurut kepercayaan Islam agama Nasrani itu asalnya adalah agama yang dibawa oleh Nabi Isa, yang mengajarkan agama Tauhid, bahwa Tuhan itu Maha Esa. Menurut Al-Qur'an Nabi Isa itu mengajak kaumnya untuk menyembah Allah tidak menyembah yang lain (Q.S. Maryam: 36; Q.S. Al-Maidah: 117). Akan tetapi berhubungan dengan kuatnya perlawanan kau yang kafir, maka ajaran Nabi Isa itu tidak bisa berkembang dengan baik, sehingga ajaran Nabi Isa sering tercampur dengan ajaran-ajaran kafir, bahkan diubah sama sekali menjadi agama polities. Agama dari Nabi Isa itu diambil oper dan diubah dari menyembah hanya kepada Allah diganti bertuhan kepada Nabi Isa, mereka mengangkat Nabi Isa menjadi Tuhan dengan lambang kepercayaan kepada Tritunggal, yaitu menyembah Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Tuhan Roh Kudus (Q.S. Al-Maidah: 72-73).
Sejarah Dakwah Pada Masa Nabi Muhammad SAW
A. Keadaan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW
Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, dilahirkan (tahun 570 M, menurut ahli sunnah) di kota Makkah dan merupakan keturunan bangsa Arab.
Bangsa Arab merupakan suatu kelompok bangsa Semit, yaitu suatu bangsa keturunan Nabi Nuh melalui puteranya yang bernama Sam, yang kemudian bertambah dengan keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Isma'il.
Disebabkan karena lewatnya waktu yang cukup lama ditinggal Nabi mereka, maka ajaran para Nabi atau Rasul itu menderita rembesan faham-faham syirik, sehingga banyak manusia yang tersesat dari agama Allah serta menyeleweng dari ajaran yang sudah ditinggalkan Nabi (Q.S. Maryam: 59; Q.S. Al-Maidah: 77; Q.S. Al-Baqarah: 75). Orang-orang Arab jahiliyah mestinya beragama menurut agama Ibrahim, kemudian terjadi kekosongan dari tuntunan Nabi dalam waktu yang lama sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai Fatratun minarrusul (فَتْرَةٌ مِنَ الرُّسُلِ) maka masyarakat Arab jahiliyah itu menjadi musyrik penyembah berhala (Q.S. Al-Maidah: 19).
Jadi orang0orang Arab itu dinamakan jahiliyah bukan disebebakan karena bodoh-nya, akan tetapi mereka disebut Jahiliah disebabkan oleh perbuatannya yang persis seperti orang-orang bodoh, tidak toleran dan tidak adanya rasa tasamuh serta tidak mau untuk berlapang dada, mereka melakukan suatu langkah dan tindakan lebih didasarkan atas sentimen dan emosi, mereka suka membangga-banggakan diri, suka menghina, lekas marah dan suka bermusuhan.
B.    Dakwah Nabi Muhamamad SAW sebelum hijrah
1.      Berdakwah secara sembunyi-sembunyi
Setelah turun ayat Allah al-Mudatsir: 1-7 dimulailah tugas Nabi Muhammad untuk berdakwah, Nabi Muhammad memulai dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi, dimulai dari orang yang terdekat dari keluarga, lalu sahabat dan kemudian orang-orang baik yang dikenalnya.
Pada fase awal perjalanan dakwah Rasul di Mekkah perhatian utamanya adalah memperbaiki akidah, membersihkannya dan mendidik jiwa dengan melepaskannya dari sifat-sifat tidak terpuji, sehingga hati orang-orang saat itu dapat menyatu untuk sama-sama mengesakan Allah dan menghilangkan sisa-sisa kejahilan dari jiwa mereka.
2.      Berdakwah secara terang-terangan
Mula-mula Allah memerintahkan Nabi agar berdakwah di lingkungan keluarga dan kemudian meluas kepada sahabat. Allah memuji kebijakan, keberanian dan keikhlasan beliau dalam berdakwah.
Dan setelah itu dimulailah dakwah Nabi secara terang-terangan yang dimulai dari keberanian beliau ketika berseru di bukit Shafa. Hal ini tentu saja membuat orang-orang kafir Quraisy sangat geram dan mereka melakukan berbagai macam upaya untuk menghalangi dakwah Nabi diantaranya dengan:
- Mendatangi Abu Thalib
- Bernegosiasi dengan Nabi
- Merintangi, mencaci dan menyiksa Nabi
- Memperlakukan Nabi sewenang-wenang
- Memboikot Umat Islam
Sementara itu Nabi dan umat Islam terus mendapat tekanan dari pihak Quraisy, kondisi inilah yang mengharuskan Nabi memilih keluar dari Makkah untuk berhijrah.
3.      Dakwah Nabi setelah Hijrah
Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah masyarakat di negeri ini belum mempunyai kesatuan akidah. Mereka adalah penduduk heterogen dan hidup dalam perpecahan. Secara garis besar masyarakat Madinah pada saat itu terbagi tiga kelompok:
1.      Umat Islam, terdiri dari kelompok Aus, Khosroj, dan Muhajirin.
2.      Kaum Musyrikin, terdiri dari kelompok Aus, Khosroj, dan kelompok lain tapi belum masuk Islam.
3.      Yahudi, terdiri dari beberapa kabilah seperti bani Qoinuqa yang berafiliasi dengan Khosroj, Bani Nadir dan Quroidzah yang bergabung dengan Aus.
Aus dan Khosroj adalah dua kelompok yang sejak Zaman Jahiliyah hidup bermusuhan sehingga diantara keduanya sering terjadi peperangan. Ketika Rasululah datang ke Madinah mereka tetap bermusuhan.
Nabi SAW dapat mengatasi perpecahan tersebut melalui sikap bijaknya yang agung dan siasatnya yang tepat. Beliau melakukan langkah-langkah perbaikan seperti berikut:
a. Membangun Masjid
b. Mengajak kaum yahudi kepada Islam
c. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar
d. Memberikan pendidikan
e. Menyusun aturan bermasyarakat antara umat Islam dan kaum Yahudi.
*** ***** ***

Psikologi Dakwah (Sebuah Pengantar)



 Oleh :

Ustadz H. Darlis Dawing, Lc., M.S.I.
(Dosen UIN Alauddin Makassar)


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS An-Nahl [16]: 125).
Ayat di atas sangat penting untuk dipahami secara arif dan bijaksana oleh seluruh masyarakat, terlebih khusus bagi para da’i dan muballigh.  Dalam ayat tersebut secara sepintas menyinggung persoalan metode dakwah yang bagus, sehingga pesan utama yang hendak disampaikan oleh da’i bisa diterima dan diamalkan oleh para jama’ah sebagai pendengar.
Al-Qur’an adalah kitab dakwah. Demikian slogan dari sejumlah ulama yang banyak bergelut dengan dunia dakwah. Ambillah misalnya Sayyid Qutub, Muhammad Gazali, Yusuf Qardawi dll. Mereka menyatakan bahwa kehadiran Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. adalah untuk merubah kondisi masyarakat Jazirah Arab yang gelap gulita pada saat itu. Bahkan peradaban dunia secara umum yang sedang mandeg dan berada dalam kegelapan. Maka, tidak mengherankan kemudian Al-Qur’an seringkali menamakan dirinya sebagai nur (cahaya). Cahaya yang menerangi dunia secara umum, dan Jazirah Arab secara khusus. Di mana pada saat itu Arab dikenal dengan masa kejahiliyaan.
Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi da’i bukanlah pekerjaan biasa. Da’i dalam arti sederhana “menyeru”, yaitu menyeru kepada kebaikan, menyeru dari yang tidak islami kepada yang islami. Dengan demikian, da’i merupakan pewaris Rasulullah sebagai muballiq (penyampai) risalah Allah kepada umat manusia yang berupa cahaya tersebut. Para da’i adalah mereka yang mendapat mandat secara tidak langsung dari Allah, setelah Rasulullah Saw wafat. Da’i atau penceramah sangat mulia di sisi Allah. Dalam al-Qur’an sangat banyak ayat yang menyinggung betapa pentingnya dakwah untuk ditegakkan. Misalnya dalam surah Ali Imran: 104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$#
 Hendaklah di antara kamu satu kelompok menyerukan pada kebaikan dan menyuruh mengerjakan hal-hal yang baik dan melarang sesuatu yang mungkar, mereka itu adalah orang-orang yang beruntung

Maka, untuk menjadi da’i pun tidak sekali jadi. Ia memerlukan proses yang panjang. Proses itu tidak terbatas pada pembentukan mental untuk tampil di hadapan orang banyak, tapi tak kalah penting adalah pembekalan isi atau bahan ceramah yang akan disampaikan masyarakat. Dalam sebuah adigum ‘orang tidak akan bisa memberi sesuatu yang tidak dimilikinya”. Hal itu penting mengingat terjadinya pergeseran imej seorang da’i di masyarakat, khususnya di Tanah Bugis. Terkadang kita tidak bisa membedakan antara da’i dan pelawak. Seorang da’i tapi bergaya pelawak. Jamaah tertawa terbahak-bahak dengan ceramahnya. Pesan keagamaan yang ia hendak sampaikan tidak membekas di benak para pendengar. Yang berkesan hanyalah lelucon yang tiada arti.
Sementara jika kita kembali membuka lembaran sejarah dakwah Rasulullah, hanya dua bentuk ceramah Rasulullah, yaitu basyiran wa nazira: membawa berita kebahagian dan memberi peringataan yang keras. Terkadang Rasulullah membuat jamaah dan para sahabat ceria dengan wajah berseri-seri karena janji Tuhan bagi mereka yang beriman, tapi pada saat yang sama mereka menangis tersedu-sedu kerena mendengar ancaman Allah yang sangat pedih bagi mereka yang lalai dan membangkan. Dengan kata lain, Rasulullah Saw selalu memberi dorongan untuk berbuat kebajikan. Pada saat yang sama, ia juga memberi ancaman-ancaman. Kondisi ini tidak berarti bahwa Rasulullah orang sangat serius dan jamaah tidak pernah tertawa dibuatnya. Dalam kondisi tertentu, Rasulullah membuat lelucon tapi pada batas-batas tertentu. Bahkan lelucon Rasulullah penuh makna dan pesan keagamaan.
Dalam dewasa ini, menjadi da’i seperti Rasulullah bukan hal yang mustahil. Seharusnya seorang da’i menjadikan inspirasi metode dakwah Rasulullah. Lelucon tidaklah haram jika hal itu tidak berlebihan, dan tujuannya untuk menarik simpati dan menyegarkan pikiran para pendengar. Tapi, jangan sampai kesan dakwah hanya pada lelucon tersebut, sementara pesan agama yang kita sampaikan tidak ada yang melekat dalam benak para jamaah.
Dengan demikian, untuk menjadi da’i profesional ada sejumlah faktor yang perlu menjadi perhatian. Faktor internal (faktor dari dalam) dan faktor eksternal (faktor dari luar). Faktor internal yang dimaksud adalah persiapan diri, dalam hal ini persiapan mental, kesabaran, optimisme, dan bekal seorang da’i. Selain itu, faktor akhlak juga tak kalah penting. Seorang da’i harus sadar sebagai panutan masyarakat. Segala tingkah laku akan menjadi contoh bagi mereka. Segala gerak-gerik si da’i akan menjadi sorotan mereka. Hal itu dimaklumi karena da’i adalah orang terpercaya dan penerus misi Rasulullah. Ia pun harus bertingkah seperti seorang nabi, karena akhlak akan memberi pengaruh luar biasa terhadap masyarakat. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa dakwah bil hal (dengan tingkah laku) lebih efektif daripada dakwah bil qaul (ceramah di mimbar). Pesan ceramah melaui tingkah laku yang baik akan berpengaruh langsung kepada masyarakat, ketimbang sebatas perkataan. Konsep itu senada dengan ancaman Al-Qur’an kepada orang beriman menyerukan sesuatu tapi dia sendiri yang melanggarnya (Q.S. as-Saff: 2).
Sementara faktor eksternal yang perlu menjadi perhatian seorang da’i adalah pertama, mengenal medan dakwah. Medan atau objek dakwah adalah sasaran ceramah kita. Dengan kata lain para jamaah. Mengenal mereka secara umum akan membantu kelancaran dan efektivitas ceramah kita. Ceramah di hadapan para ilmuan tentu beda dengan ceramah di hadapan rakyat biasa. Berhadapan dengan orang petani juga berbeda jika berhadapan dengan orang pejabat. Dalam bahasa dakwahnya “likulli maqam maqal”, dakwah harus sesuai dengan situasi dan kondisi objeknya.
Misalnya, karakerter orang yang berilmu membutuhkan penjelasan yang ilmiah dan masuk akal, beda halnya dengan karakter orang petani, mereka butuh penjelasan yang sederhana dengan memberikan contoh-contoh yang mereka kenal, atau yang akrab sekitar mereka. Penjelasan ilmiah tidak akan efektif bagi mereka. Begitupula dengan berhadapan orang kaya dengan pejabat, mereka butuh sindiran dengan memberian perumpamaan ataupun melalui kisah-kisah nabi dan orang bijak. Selanjutnya, ceramah di acara ta’ziah tentu sangat berbeda dengan ceramah nasehat perkawinan. Begitupula sangat berbeda dengan khutba jum’at.
 Memperhatikan kondisi tersebut, pesan dakwah yang kita sampaikan akan mudah diterima dan memberi pengaruh sehingga mereka mengamalkan. Itulah yang dikenal dengan psikologi dakwah, dakwah dengan menyentuh kejiwaan para jamaah. Atau bahasa lainnya, menyeru sesuai dengan kadar pengetahuan objek (‘ala qadri ‘uqulihim).
            Metode dakwah semacam di atas, merupakan metode dakwah al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah kitab dakwah yang sangat luar biasa pengaruhnya. Al-Qur’an tidak secara serampangan menyeruh kaum Qurasiy di Mekkah dan Yahudi dan Nasrani di Madinah. Ia mampu memengaruhi mereka dengan metodenya yang khas. Salah satu metode al-Qur’an yang paling ampuh adalah melalui kisah-kisah nabi umat terhadulu. Kisah dalam al-Qur’an memang sangat urgen. Menurut A. Hanafi bahwa kisah dalam al-Qur’an sekitar 1600 ayat, belum lagi kisah-kisah orang arif dalam al-Qur’an seperti lukman, ashab al-kahfi dll.
Realitas tersebut menjadi alasan kenapa kisah al-Qur’an menjadi metode dakwah al-Qur’an yang paling efektif. Kisah al-Qur’an membuat para pendengarnya memahami dan mengambil pelajaran darinya. Misalnya, di saat al-Qur’an behadapan dengan kaum Quraisy yang menolak ajakan Rasulullah. Saw. al-Qur’an menghadirkan kondisi umat-umat terdahulu yang mendapat sisksaan dan kehancuran karena mendustakan risalah para nabinya. Dengan demikian, mereka secara langsung tergerak hatinya dan merasa was-was dengan kondisi mereka. Mereka takut akan ditimpah musibah seperti halnya umat terdahulu. Dalam kondisi ini al-Qur’an sudah menyentuh hati dan menggugah pikiran mereka.
            kedua, faktor eksternal yang perlu dimengerti adalah berlemah lembut kepada objek (jamaah). Menyampaikan pesan dengan nada yang enak didengar, tidak berdebat langsung di hadapan orang banyak. Tapi, melakukan pendekatan secara personal, dari hati ke hati. Metode tersebut akan lebih mudah diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan “menyinggung” mereka secara langsung. Disinilah perlunya seorang da’i (penceramah) membedakan bahasa dakwah dan bahasa sehari-hari. Seorang da’i akan lebih bisa diterima dan berpengaruh jika ia memakai banyak perumpamaan dan kisah-kisah, ketimbang ia secara langsung menyinggung kemungkaran yang ada. Tidak berarti hal itu tidak tegas, tapi hanya sebagai metode untuk mengambil hati para jamaah.
Di samping itu, seorang dai harus sabar melewati proses panjang. Berdakwah tidak mungkin langsung bisa diterima oleh masyarakat, maka lakukan tahapan-tahapan dalam menyampaikan risalah dan ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri dalam berdakwah melakukan hal itu, misalnya keharaman khamar tidak langsung, tapi melalui tiga tahapan, yaitu tentang mudaratnya (Qs. 2: 219); Pelarangan sholat dalam keadaan mabuk (4:43); perintah menjauhi khamar (5:90) . Hal itu mengikuti kesiapan mental dan kondisi masyarakat Arab kala itu. Da’i sekarang juga bisa melakukan hal serupa. Jika kondisi masyarakat belum bisa menerapkan semua ajaran-ajaran Islam, maka diajak untuk meakukan sesuai dengan kemampuan. Sedikit demi sedikit mereka akan terbiasa dan merasa butuh dengan ibadah tersebut. Demikian pesan ayat di awal tulisan ini!

*** ***** ***